Jumat, 02 September 2011

Wanita di tanduk perpolitikan dunia

November 1963, iring – iringan Presiden john F. Kennedy berjalan di kota Dallas di tengah – tengah keriuhan masyarakat Amerika. Tak selang berapa saat kemudian, sebuah peluru yang di lepaskan dari sebuah senapan mantan sniper angkatan laut AS menembus tubuhnya ketika ia sedang berada di atas mobil limonsin terbuka miliknya. Presiden USA yang juga mantan aktor itu pun terbunuh seketika secara keji melalui tindak konspirasi pihak yang punya kepentingan di dalamnya. Wajarkah??
Pembunuhan tentu bukan cara kematian yang wajar bagi sesiapapun, tapi akan berbeda halnya jika itu terjadi di tengah – tengah percaturan arena politik. Sejarah membuktikan ada banyak kisah pembunuhan politik dalam realitas historis dunia, sehingga kematian dengan cara di bunuh oleh lawan politik menjadi hal yang wajar dalam konteks ini. Tak ayal, banyak orang menyebut politik itu kotor, keji dan sekaligus kejam yang bahkan terlihat nyata di depan kasat mata manusia. Banyak tokoh besar politik yang terbunuh di tangan musuh-musuhnya, mulai dari Julius Caesar, Sayyidina Umar, Utsman, Ali ra, Mahatma Gandi, Ernesto Che Guevvara, Abraham Lincoln dan lain sebagainya, hingga pada seorang wanita yang kematianya masih menjadi misteri hingga kini, “Lady Diana”.
Yang menarik dari sosok yang disebut terakhir ini ialah, karena dia adalah seorang wanita dengan pengaruh begitu besar terhadap kerajaan terbesar di muka bumi kala itu “United Kingdom” dimana kisahnya terbumbu oleh intrik asmara yang mengharukan, juga misteri kecelakaan yang mengantar pada kematianya. Wanita yang cantik nan anggun, yang segenap mata melihat akan berspekulan dia adalah seorang yang lemah lembut dan tak pantas berada di jalan seberat ini, tapi tidalah demikian, dia berada di tengah – tengah penggung politk yang memaksanya harus menjadi sosok yang sangat kuat ditengah – tengah gejolak kenegaraan yang sewaktu – waktu bisa mencelakakan dirinya sebagai putri kerajaan Inggris raya.
Ya, jalan yang berliku itu di lalui benar ketika ia memulainya dengan menjadi istri dari Putra mahkota Inggris raya Pangeran Charles dalam sebuah pesta pernikahan legendaris di London pada tahun 1982. Pernikahan ini terus berlangsung selama 20 tahun hingga dia di karuniai 2 orang anak, pangeran William Arthus Philip Louis dan pangeran Henry charles Albert David. Cukup terlihat pada diri ini sebagai sosok yang berbahagia dengan bertahtakan putri Kerajaan Inggris, dengan segenap pernak – pernik kehidupan layaknya seorang putri kerajaan pada umumnya. Namun, apakah memang demikian??? Tunggu dulu...
Selama 20th pernikahan, pangeran Charles mengaku tidak bahagia dan tak mencintai Diana lagi, hingga di masa – masa akhir pernikahanya, pangeran Charles lebih memilih kembali pada kekasihnya yang dahulu Camilla yang diakuinya sangat dicintainya. Usia 20 th pernikahan serta pengabdian bagi keluarga kerajaan tak terasa sekali balasan setimpal cinta dari sang pangeran. Hal ini mengantarkanya pada kondisi kejiwaan yang semakin memburuk. Berada di tengah – tengah kegalauan sebagai seorang istri yang merasa di khianati suaminya karena tak mampu menjauhkan Camilla dari kehidupan sang suami, juga Ibu dari calon – calon pangeran Inggris di masa depan yang tak mungkin di tinggalkanya, serta sekaligus seorang putri yang harus menjaga nama baik kerajaan. Beban yang begitu berat akhirnya membawanya pada sikap kefrustasian dengan menjalin hubungan bersama salah seorang pengawal pribadinya. Hingga terkuaklah hubungan tersebut yang menjadikan ia harus di cerai oleh Pangeran Charles dan di usir dari istana Kerajaan.  
Waktu berlalu, kisah asmaranya berlanjut ketika ia telah menemukan tambatan hatinya bersama seorang pemuda miliuner berkebangsaan Arab, “Dodi AL-Fayed”. Namun, tak lama berselang dari hubunganya dengan Dodi, sebuah musibah menimpa pasangan yang sedang di cumbu asmara ini. Sebuah kecelakaan naas nan misterius menimpa mereka pada sabtu, 30 agustus 1994 di terowongan Pont de l’Alma, Perancis. Dodi tewas di tempat, sedang sang putri tewas di rumah sakit pada pukul 4 paginya. Berbagai spekulan pun muncul di media perihal soal kecelakaan yang aneh ini.
Sungguh ironi memang, sang putri diana yang baru saja menemukan tambatan hatinya setelah berpuluh tahun hidup tertekan dalam lingkungan kerajaan harus menemui ajal dengan cara yang tidak wajar. Analisa mengemuka, Dodi dan Diana yang sedang kasmaran ini agaknya lupa dengan dampak dari hubungan yang mereka jalin ini. Mereka lupa bahwa Diana adalah ibu dari raja Inggris Raya di masa mendatang sedang Dodi adalah seorang Arab dan Muslim. Tentunya, keputusan Diana untuk menikahi Dodi menjadi sebuah mimpi buruk  tersendiri bagi keluarga kerajaan Inggris. Merupakan sebuah aib besar yang harus segera di cegah adanya jika suatu hari nanti raja inggris raya di masa mendatang akan memiliki seorang ayah tiri dan saudara – saudara muslim berkebangsaan Arab.
Ibrahim Siraj (2010:299) menyatakan, “Tidak sekali – kali hal tersebut boleh terjadi, silahkan Diana dan Dodi pergi ke Neraka! Maka di rencanakanlah sebuah rencana pembunuhan dengan bantuan Intelejen Perancis. Dan operasi penbunuhan selesai dengan peristwa kecelakaan yang sangat keji. Investigasi pun di tutup dan peristiwa itu pun di nyatakan sebagai murni kecelakaan lalu lintas.”
Setidaknya bisalah kita fahami bahwa keberlimpahan harta dan kekuasaan, popularitas yang tinggi serta kecantikan seseorang bukanlah jaminan kebahagiaan seseorang bisa di dapatkan. Bahkan tak jarang, justru malapetaka yang datang apalagi jika sudah berhadapan dengan kerasnya panggung politik dunia yang penuh fitnah.
Wassalam...

Dilema pemikiran di usia mahasiswa

Tekanan Hidup, kesibukan kuliah, dan lain sebagainya membuat otak ini makin rancau....
ah, dari pada terlalu terpikirkan mengenai persoal itu... lebih baik me refresh diri dengan bernostalgia mengingat masa kanak" dulu, Childhood lah istilaeh.... nah, kiranya ketika mengingat masa kanak" yang jauh dari banyak persoal di atas, tapi koh yah malah menemukukan isu utawi perkara_perkara anyar... jan jan, pola pikir sing siki di gawa ming masa lalu koh malah dadi berkontradiksi yah... ini anna temukan betul ketika mengingat tentang lagu - lagu yang notabene.na pendidikan anak-anak tapi kok mnrt ku malah merupakan pembodohan basic intelektual usia dini... hadu jan apa maning kuwe, tapi temenan koh... misal bae yah, lagu bintang kecil.. lirik, Bintang kecil, di langit yang biru, amat banyak, menghias angkasa...
Lah, bintang kuwe kecil kang ngendi, la wong jere neng galaksi bima sakti be matahari termasuk bintang sing cilik gedenen semeno kae, 300.000 kali besar bumi, la bintang" sing liane si kepriwe, malah jare guru geografi ku pas SMA, ana bintang sing di ibaratnane karo matahari kuwe kaya bal voli apa bal basket ya kena lah karo debu, mbok ora patut banget gedenen, kaya kuwe koh di omong bintang kecil... trus, di langit yang biru, lah langit keton biru mbok pas awan-awan,  bukane bintang ketone nek pas wengi tok yah... pas langite peteng...
Ana maning, Balon ku ada lima, rupa-rupa warnanya, merah, kuning, kelabu, merah muda, dan biru, meletus balon hijau, DOR, hatiku sangat kacau... Lho, jare balone mung ana lima, (merah, kuning, kelabu, merah muda, dan biru), la sing meletuss kan balon hijau, berarti kan udu balone mbok, tapi mbuh balone sapa, apa nggone batire apa nggone sapa lah, la nek emang udu nggonenen, kenapa atine dadi melu kacau, mbok aneh, apa urusane jal...
Truz yah, lagu Pelangi-pelangi, alangkah indahmu, merah kuning hijau, di langit yang biru... menurut ilmu pengetahuan alam dasar kuwe wis jelas, pelangi kuwe warnane ana 7, MeJiKuHiBiNiU (Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu), la nek mung 3 merah kuning hijau kuwe ya trafic light utawi warna partai jaman orde baru, kepriwe sih...
Ana MAning, lagu sing bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi ku tolong ibu, membersihkan tempat tidurku.... nolong ibune si apik, tapi masalaeh nek mbeke tangi turu langsung adus, trus shallat subueh kapan, lah nek bar adus langsung ngresiki kamar, masa ya ora andukan disit, klambenan disit, sisiran disit, apa mengko kuwe manuke ora cokoti tengu apa tinggi jal...
trus lagu sing monine kaya kie, naik kereta api, tut tut tut... siapa hendak turut, ke bandung..surabaya, ayolah naik dengan percuma... kie lagu ora nggenah sepure kuwe mangkate kang ngendi, kang purwokerto, madiun, apa jember, trus sing di tawani kur nek rep ming bandung pa surabaya tok, la nek sing arep ming jogja pa semarang si priwe, wis kaya kue koh di kongkon naik dengan percuma atau maksude dengan free utawi ora mbayar, aduh aduh.. esih cilik wis di ajari kon numpak sepur usah karo tuku tiket, berarti kon dadi penumpang ilegal, mbayar neng nduwur nyogok kondekture kaya kuwe... kiye kieh, budaya KKN wis di tanamna sejak dini...
nah, ana maning... burung kak tua, hinggap di jendela, nenek sudah tua, giginya tinggal dua... la hubungane burung kakaktua karo nenek sudah tua apa? aapa iya nek ana burung kakaktua lagi hinggap di jendela neneke otomatis dadi tua, lagian nengndi ndi nenek ya wis mesti tua lah, tapi untune la ora mesti tinggal dua, bisa bae esi ana lima kaya ninine nyong...
Lah, sing kiye ya iya, satu", aku sayang ibu, dua" aku sayang ayah, tiga" sayang adik kakak, ... nah, masa di ajarinen kur sayang keluarga tok, ming GustiALLAH ora? Ming nabi dan Rasulullah ora? ming para sahabat dan generasi shalafusalih ora? ming ulama ya oraaa? oh...pantesan barang wis gede dadi pejbat ya KKN, birokrasine dinasti banget, deweke bupati, ramane dadi kepala dinas, ibune dadi sekretaris kabupaten, kakang"e dadi anggota dewan, adi"ne dadi camat, lah...trus wong liya dadi langka kesempatane...
Nah...kuwe-kuwe, indoktrinasi sederhana sing kadang-kadang do disepelekna, tp jebule menurutku bisa membentuk karakteristik dan mainstream yang sangat mengakar di pemikiran para anak bangsa... apa yang salah coba, sistemnakah yang harus di ganti jika sudah begini... Wallahu a'lam bissawab...

Akar Politik Islam di Indonesia

Setiap pertumbuhan dan perkembangan kemasyarakatan dan kenegaraan di Indonesia tidak mungkin dapat di pisahkan dari Islam dan kaum muslimin di Indonesia. Terutama sekali dalam aspek pergerakan dan perjuangan yang mengarah pada kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia, andil kaum muslimin sangat menonjol. Bukan semata – mata pada personal kuantitas, tetapi jauh lebih kepada semangat nilai – nilai luhur keruhanial Islam yang telah melekat di dalam benak para pemeluk  pemeluknya. Karena itulah, semasa perkembanganya semenjak kurun waktu primordial hingga fase kebangsaan kini, perkembangan politik di Indonesia senantiasa bertalian erat dengan corak pola dan alam pikir yang memberi sumbangan tingkah laku terhadap kaum muslim di dalam berbagai aspek bidang kehidupan.

 Namun tidak dapat di pungkiri, seperti halnya yang terjadi pada berbagai macam corak aliran politik, Islam pun demikian tidaklah mampu terlepaskan oleh keadaan pasang surut kekuatan politiknya. Keadaan yang demikian timbul pula tak bisa dilepaskan oleh pengaruh perkembangan dunia Islam yang bersifat Universal sehingga banyak muncul tentang restorasi pemikiran kaum muslimin dalam lingkaran kebangsaan yang berkorelasi dengan konsep ketatanegaraan. Tak terkecuali dengan kaum muslim di Indonesia, suatu masa yang sangat pelik berkaitan dengan dasar Negara “Pancasila” yang masih menjadi tarik ulur pemahaman antara kaum muslimin dan nasionalis sekuler. Ideologi kenegaraan yang masih menjadi asas tunggal ini terbilang dapat di terima oleh sebahagian kaum muslimin namun tidak begitu halnya oleh sebahagian yang lain, dimana padahal rumusan Pancasila sendiri adalah hasil partisipasi arsitektur tokoh-tokoh politik Islam di Indonesia. Dengan begitu bisa di katakan bahwa Pancasila adalah hasil pengorbanan dan hadiah umat Islam untuk bangsa Indonesia.

Bisa dimengerti, bahwa pergerakan dan perjuangan umat muslim dalam pencapaian kelahiran NKRI sangat besar. DI telisik dari fakta historis, umat islam di awal – awal masa pergerakan nasional terbilang telah mampu menjadi momentum penggerak suatu wadah pergerakan nasional yang terstruktur dan terorganisir. Pergumulan ini bahkan telah lebih jauh mampu menemukan gagasan realitas national yang telah berada pada posisi melewati batas – batas primordial. Hal ini terwakilkan jelas dalam tubuh organisasi – organisai semacam Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, PUI, Perti, Al – Wasliyah, Nahdlatul Wathan, dll. Hingga pada waktunya kemudian mampu menghasilkan saham yang begitu besar sebagai bagian dari saham lapisan masyarakat dalam pembangunan politik ketika itu.

Bahkan jauh sebelum itu, sebelum masuk pada babak awal fase abad 19, atau sebelum gerak perjuangan berubah kearah organisatoris seperti dimuka, tokoh – tokoh muslimlah yang berada pada baris terdepan dalam konfrontasi langsung dengan pihak pemerintah colonial Hindia – Belanda, sebut saja Pangeran Abdul Hamid Diponegoro, Teungku Cik DI TIro, Tuangku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Cut Nyak DIen, bahkan Si Singamangaraja dan Kapitan Patimura sekalipun yang mayority masyarakat kini mengira bahwa mereka bukanlah seorang muslim. Padahal bukti sejarah mencatat bahwa mereka adalah seorang mujahid yang hidup di kelilingi oleh banyak ulama. Kulture pejuangan yang di motori umat muslim pun berlanjut hingga tokoh – tokoh semacam KH. Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah, Jenderal Sudirman sang guru Agama, KH Hasyim Asyari pendiri NU, hingga termasuk tokoh – tokoh yang di cap pemberontak seperti Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, dan Teungku Daud Baraureah, adalah pahlawan gagah berani yang berada di baris – baris terdepan perjuangan fisik dan pemikiran nasional Indonesia melawan Imperialisme. Catatan tokoh nasionalis – sekuler saja tidak dapat di bandingkan dengan mereka, karena itu hanya personal pencitraan dalam buku – buku sejarah saja yang di susun sedemikian rupa oleh mereka ketika menduduki tangkup kekuasaan otoritas bangsa.

Tantangan pelik berikutnya ialah ketika terjadi perdebatan sengit yang terbilang tak kunjung usai antara kaum Islamis dan Nasionalis – Sekuler tentang bentuk kenegaraan. Persoal klasik semacam  ini sebenarnya bisa di lihat dari hasil sebuah konsekuensi logis terhadap culture sosio masyarakat tentang relasi Negara dan agama dalam corak Indonesia. Mereka, secara garis besar bisa di bagikan ke dalam dua kelompok besar yakni antara yang menginginkan terwujudnya sebuah Negara dengan murni penerapan syariat Islam yang Kaffah dengan yang ingin membentuk Negara dengan esensi nilai – nilai Islam yang cukup hanya dengan terinfiltrasikan kedalam konsep kebangsaan dalam bentuk yang lebih lunak.
Perdebatan bangunan politik tersebut akhirnya terkonsep dalam bentuk antara Negara Islam dengan Negara Pancasila. Meskipun pada akhirnya Pancasilalah yang di sahkan sebagaimana di sebutkan diatas sebagai dasar falsafah negara, namun tetap tidak bisa dijustifikasikan hal ini sebagai akhir dari sebuah pergolakan integritas bangsa.   
Jadi, pada penyimpulanya ialah Pancasila bisa dikatakan sebagai hadiah umat muslim terhadap bangsa Indonesia karena bangunan politik Indonesia yang lahir oleh jerih payah tangan umat muslim tidak lantas menjadikan Islam sebagai dasar Negara.

Semoga bermanfaat, jika ada benarnya itu berarti datangnya dari ALLAH ta'ala, jika ada kurangnya berasal dari diri penulis pribadi. Afwan

Aktifitas Politik Mendasar NU

Keberagaman kulture sosio masyarakat dalam proses integritas bangsa ini di awal kemerdekaan merupakan wajah realita yang tak bisa di kesampingkan. Nu sebagai Organisasi kemasyarakatan berbasis agama yang cukup besar kala itu menyadari betul akan hal ini. Termasuk di dalamnya pula wujud heterogen dari kelompok – kelompok Islam yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, kendati seruan persatuan umat telah menjadi peringatan lantang perdana pergerakan oleh para ulama – ulama mereka. Oleh karenanya, hampir tak ada wujud tunggal dalam pergerakan politik berbasis Islam di Indonesia, dalam tubuh Masyumi sekalipun. Bentuk formatif mungkin sempat ada ketika islam hanya memiliki satu partai politik yang terwakilkan dalam Masyumi, namun subtansi pergeseran dan percabangan pemikiran di kalangan intern adalah pasti adanya yang kemudian mengarah kepermukaan dan membentuk wadah yang benar – benar baru.
Dalam menyikapi realitas yang demikian, NU menyadari sebagai organisasi dakwah sekaligus wadah perjuangan umat melalui gerakan politik perlu adanya suatu tatanan nilai mendasar yang mampu mengcover kerancuan kepentingan – kepentingan politik, terlebih di dalam kalangan umat Islam sendiri. Hal ini kemudian yang terangkum jelas dalam esensi dasar mereka akan perbedaan yang terkonsolidasikan dalam mekanisme ketatanegaraan. Pandangan ini kemudian yang di interpretasikan ke dalam suatu konsep negara bangsa (nation state) yang bukan negara Islam dengan berasumsi pada ide – ide pluralisme dengan mengakar pada pengertian aswaja (ahlusunnah wal jama’ah).
NU sendiri sebagai bagian dari kemajemukan bangsa tidak terlepas dari konflik pertentangan ideologis. Semenjak tegabungnya kedalam tubuh masyumi, NU telah merasakan berbagai macam pergesrekan – pergesrekan pemikiran di kalangan elit. Kontradiksi yang begitu jelas tergambar pada saat penyikapan pembentukan struktur kepemimpinan dalam Masyumi. Yakni, ketika di bentuknya dewan eksekutif dan dewan partai, dimana yang pertama adalah bertugas dalam bidang politik praktis sedang kedua adalah dalam penyikapan isyu – isyu hukum agama. Dewan eksekutif ini di dominasi oleh kalangan – kalangan modernis yang di anggap lebih mampu dalam menjalankan roda perpolitikan partai, sedang kalangan tradisionalis yang di dalamnya banyak tokoh NU nya lebih banyak di tempatkan pada dewan partai saja. Di sinilah akar kecemburuan itu muncul, kebanyakan tokoh NU merasa di abaikan oleh kepemimpinan modernis di dunia politik, suatu dunia yang cukup menarik minat para kyai pada periode pasca kemerdekaan.
Puncak dari pertentangan internal ini adalah ketika NU secara jelas keluar dari kepengurusan partai Masyumi. Penentu pemisahan itu terjadi dalam kongres NU di Palembang (April 1952), yang menyatakan secara resmi lahirnya NU sebagai suatu partai politik Islam Independen. (Sjihabuddin Ma’sum, 1968: hal.8)
Peristiwa ini sungguh menggoncang Masyumi kala itu. Hal ini wajar memang, mengingat NU memiliki basis masa yang begitu besar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Apalagi, dua nama pertama adalah provinsi yang dikenal dengan penduduknya yang terpadat di Indonesia. Kekhawatiran akan muncul pesaing baru dalam percaturan politik sungguh di sadari Masyumi.
Hal ini terbukti dalam pemilihan umum 1955, NU muncul sebagai partai nomor 3 sesudah PNI dan Masyumi dengan meraih 18.4 persen suara dari jumlah seluruh suara, dan karena ini, NU mendapat 45 kursi dalam parlemen. (Alfian, Leknas, 1971: hal.9)
Analisis sederhana perihal pencapaian NU ini memang tidak bisa di lepaskan dari banyaknya tokoh vital terutama dari kalangan kyai dalam tubuh NU yang memiliki peranan sangat besar dalam mengcover masyarakat – masyarakat muslim tradisional. Peran strategis Kyai ini juga di dukung oleh banyaknya jumlah pesantren yang ada di ke tiga provinsi basis masa NU tersebut. Beberapa mereka diantaranya adalah, K.H. Hasyim Asyari, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Achmad Wachid Hasyim, K.H. Syaifuddin Zuhri, K.H.Idham Chalid, dan lain sebagainya.
Sejarah Islam pada pasca kemerdekaan Indonesia menjelaskan bahwa sekalipun kekuatan Masyumi bersama dengan kekuatan – kekuatan politik lainya sampai akhir 1949 memusatkan usaha mereka untuk memenangkan usaha perjuangan kemerdekaan, namun perasaan tidak puas dari NU terhadap kepemimpinan politik modernis hanyalah surut kebelakang buat sementara waktu. Perasaan ini tidak akan pernah lenyap, sebab di mata para kyai masalah yang mengganjal antara ke dua sayap umat itu cukup serius. Dan kemungkinan memisahnya NU dari tubuh Masyumi hanya persoal waktu belaka (A.R. Baswedan, 1978)
Demikianlah aktifitas semacam ini memang di butuhkan untuk berproses ke arah idealisme politik. Perceraian yang di tujukan oleh NU sebagai penyikapan dari perbedaan politis merupakan konsekuensi logis terhadap proses integritas bangsa. “Sekalipun integritas sosial pada tingkatan yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiassa berproses ke arah itu” (DR. Nasikun 1984: hal 14)