Jumat, 02 September 2011

Aktifitas Politik Mendasar NU

Keberagaman kulture sosio masyarakat dalam proses integritas bangsa ini di awal kemerdekaan merupakan wajah realita yang tak bisa di kesampingkan. Nu sebagai Organisasi kemasyarakatan berbasis agama yang cukup besar kala itu menyadari betul akan hal ini. Termasuk di dalamnya pula wujud heterogen dari kelompok – kelompok Islam yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, kendati seruan persatuan umat telah menjadi peringatan lantang perdana pergerakan oleh para ulama – ulama mereka. Oleh karenanya, hampir tak ada wujud tunggal dalam pergerakan politik berbasis Islam di Indonesia, dalam tubuh Masyumi sekalipun. Bentuk formatif mungkin sempat ada ketika islam hanya memiliki satu partai politik yang terwakilkan dalam Masyumi, namun subtansi pergeseran dan percabangan pemikiran di kalangan intern adalah pasti adanya yang kemudian mengarah kepermukaan dan membentuk wadah yang benar – benar baru.
Dalam menyikapi realitas yang demikian, NU menyadari sebagai organisasi dakwah sekaligus wadah perjuangan umat melalui gerakan politik perlu adanya suatu tatanan nilai mendasar yang mampu mengcover kerancuan kepentingan – kepentingan politik, terlebih di dalam kalangan umat Islam sendiri. Hal ini kemudian yang terangkum jelas dalam esensi dasar mereka akan perbedaan yang terkonsolidasikan dalam mekanisme ketatanegaraan. Pandangan ini kemudian yang di interpretasikan ke dalam suatu konsep negara bangsa (nation state) yang bukan negara Islam dengan berasumsi pada ide – ide pluralisme dengan mengakar pada pengertian aswaja (ahlusunnah wal jama’ah).
NU sendiri sebagai bagian dari kemajemukan bangsa tidak terlepas dari konflik pertentangan ideologis. Semenjak tegabungnya kedalam tubuh masyumi, NU telah merasakan berbagai macam pergesrekan – pergesrekan pemikiran di kalangan elit. Kontradiksi yang begitu jelas tergambar pada saat penyikapan pembentukan struktur kepemimpinan dalam Masyumi. Yakni, ketika di bentuknya dewan eksekutif dan dewan partai, dimana yang pertama adalah bertugas dalam bidang politik praktis sedang kedua adalah dalam penyikapan isyu – isyu hukum agama. Dewan eksekutif ini di dominasi oleh kalangan – kalangan modernis yang di anggap lebih mampu dalam menjalankan roda perpolitikan partai, sedang kalangan tradisionalis yang di dalamnya banyak tokoh NU nya lebih banyak di tempatkan pada dewan partai saja. Di sinilah akar kecemburuan itu muncul, kebanyakan tokoh NU merasa di abaikan oleh kepemimpinan modernis di dunia politik, suatu dunia yang cukup menarik minat para kyai pada periode pasca kemerdekaan.
Puncak dari pertentangan internal ini adalah ketika NU secara jelas keluar dari kepengurusan partai Masyumi. Penentu pemisahan itu terjadi dalam kongres NU di Palembang (April 1952), yang menyatakan secara resmi lahirnya NU sebagai suatu partai politik Islam Independen. (Sjihabuddin Ma’sum, 1968: hal.8)
Peristiwa ini sungguh menggoncang Masyumi kala itu. Hal ini wajar memang, mengingat NU memiliki basis masa yang begitu besar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Apalagi, dua nama pertama adalah provinsi yang dikenal dengan penduduknya yang terpadat di Indonesia. Kekhawatiran akan muncul pesaing baru dalam percaturan politik sungguh di sadari Masyumi.
Hal ini terbukti dalam pemilihan umum 1955, NU muncul sebagai partai nomor 3 sesudah PNI dan Masyumi dengan meraih 18.4 persen suara dari jumlah seluruh suara, dan karena ini, NU mendapat 45 kursi dalam parlemen. (Alfian, Leknas, 1971: hal.9)
Analisis sederhana perihal pencapaian NU ini memang tidak bisa di lepaskan dari banyaknya tokoh vital terutama dari kalangan kyai dalam tubuh NU yang memiliki peranan sangat besar dalam mengcover masyarakat – masyarakat muslim tradisional. Peran strategis Kyai ini juga di dukung oleh banyaknya jumlah pesantren yang ada di ke tiga provinsi basis masa NU tersebut. Beberapa mereka diantaranya adalah, K.H. Hasyim Asyari, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Achmad Wachid Hasyim, K.H. Syaifuddin Zuhri, K.H.Idham Chalid, dan lain sebagainya.
Sejarah Islam pada pasca kemerdekaan Indonesia menjelaskan bahwa sekalipun kekuatan Masyumi bersama dengan kekuatan – kekuatan politik lainya sampai akhir 1949 memusatkan usaha mereka untuk memenangkan usaha perjuangan kemerdekaan, namun perasaan tidak puas dari NU terhadap kepemimpinan politik modernis hanyalah surut kebelakang buat sementara waktu. Perasaan ini tidak akan pernah lenyap, sebab di mata para kyai masalah yang mengganjal antara ke dua sayap umat itu cukup serius. Dan kemungkinan memisahnya NU dari tubuh Masyumi hanya persoal waktu belaka (A.R. Baswedan, 1978)
Demikianlah aktifitas semacam ini memang di butuhkan untuk berproses ke arah idealisme politik. Perceraian yang di tujukan oleh NU sebagai penyikapan dari perbedaan politis merupakan konsekuensi logis terhadap proses integritas bangsa. “Sekalipun integritas sosial pada tingkatan yang sempurna tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiassa berproses ke arah itu” (DR. Nasikun 1984: hal 14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar